Well, ini adalah FF yang KaChang buat sesuat Lucid Dream yang KaChang alami
Bukan FF yang menarik
Kakak di sini adalah pelatih KaChang ketika menjadi seorang petenis
Menyenangkan? Ya, pelatihnya ganteng '-'b
Judulnya belum ada -_-
Profesor itu menuduhnya. Dia
memfitnahnya! Sebuah surat datang dan kakak membacanya. Aku sempat melihat
surat itu sekilas. Surat buatan seorang kurir yang menyatakan bahwa dia disuru
orang yang mengetahui kalau tuduhan tersebut memang dilakukan kakak.
Kakak memandang surat itu cukup
lama. Menyadari aku memperhatikannya, dia menyuruku untuk kembali sibuk dengan
tugas-tugasku. Saat aku baru kembali menggenggam pena, terdengar isak tangis
dari seseorang yang duduk di belakangku. Aku berbalik dan mendapati kakak
sedang menangis.
Seluruh isi kelas memperhatikan
kami kembali. Teman-teman memberiku aba-aba untuk menenangkan kakak. Tapi,
sulit bagiku melakukannya. Ini pertama kalinya ada orang yang menangis
dihadapanku, cowok apalagi. Ditambah kakak adalah tipe orang yang tegar dan
bersemangat, ini membuatku tertegun sekaligus shock.
Aku memegang lengannya, sesuatu
yang belum pernah kulakukan padanya sebelumnya. “Kakak, jangan menangis” kataku
kaku. Teman-temanku yang lain pun mulai mengerubungi kami. Mereka menepuk
pundak kakak dan mengucapkan kalimat penyemangat. “Tenang saja pak guru, semua
akan berlalu” “Pasti ada jalan” Adalah beberapa ucapan yang banyak terdengar.
Kakak mulai tenang dan meminta
semua murid untuk duduk kembali di tempat duduk masing-masing setelah
mengucapkan terima kasih. Kakak kembali menatap surat itu menunduk, bulir air
mata kembali membasahi pipinya. Tangisan kali ini tanpa suara sama sekali.
Aku kembali memegangi lengannya
“Jangan menangis” ujarku. Kusadari air mataku juga meleleh. Aku tak tau kenapa
aku bisa merasa sesedih ini. Isak tangis kakak terdengar sangat pilu. Dan air
mata itu, aku ingin sekali menyekanya. Membelai lembut wajahnya, mengecup kedua
kelopak matanya yang sayu.
Saat aku membayangkan itu semua,
tangan kakak menyadarkanku. Ia melepas tanganku yang memegang lengannya. “Aku
sudah tidak apa-apa” katanya mencoba tersenyum. Kakak lalu membuang
pandangannya dan kembali menatap surat itu.
Ah, seandainya dia tau. Tipe
cowok kesukaanku salah satunya adalah cowok yang mau menangis di hadapanku,
membagi rasa sakitnya padaku sehingga aku dapat membantunya meringankan
bebannya itu. Tapi saat dia benar-benar melakukannya di hadapanku, aku malah
kaku dan tak dapat mengatakan apa-apa. Bodohnya aku.
Aku memeriksa isi laci meja
dengan iseng. Aku tidak mood lagi untuk mengerjakan tugasku. Kakak juga sibuk
dengan suratnya, sehingga ia tak mungkin memarahiku. Kudapati beberapa buku
yang merupakan buku anak kelas ini. Dia meninggalkannya begitu saja, jadi aku
membuka isinya dan memperhatikan tulisannya yang lebih jelek dari tulisan
tanganku.
Tiba-tiba aku mendapat ide. Aku
bisa melacak tulisan tangan kurir itu, menanyakan siapa yang menyurunya membuat
benda itu –meski aku yakin yang membuatnya adalah profesor. Surat itu ditulis
pada sehelai tissue. Kalau aku menemukan bungkus tissue yang kosong di
laboratorium kimia tempat profesor mengajar, maka itu menambah bukti bahwa
kurir itu orang suruhan profesor.
Laboratorium kimia terdapat di
samping kelas ini. Pintu menuju labor itu pun ada pada kelas ini. Seingatku
pintu itu tak dikunci karena profesor baru datang dari sana. “Kakak, sepertinya
bukuku tertinggal di labor. Aku permisi sebentar” kataku padanya. Kakak hanya
mengangguk jadi aku langsung melesat ke sana.
Aku meletakkan tasku di atas meja
labor itu karena menyusahkan perburuanku. Aku melihat ke sekeliling. Berputar
dalam labor mencari tissue yang berserakan karena tissue dalam plastik berisi 2
lembar. Mungkin yang satu dibuangnya, atau masih ada pada bungkusnya.
Beruntungnya aku, menemukan kunci
labor ini. Aku bisa dengan leluasa keluar-masuk labor ini. Bahkan bukan hanya
labor kimia, ruang guru juga ada. Seharusnya kunci ini milik penjaga sekolah
yang ganteng itu. Kalau kuncinya di sini, apa dia juga di sini? Kalau aku
ketahuan memiliki kunci penjaga sekolah, apa sanksi untukku? Ah, itu tidak
penting. Kulanjutkan kembali perburuanku.
Aku mencari satu persatu di laci
meja bungkus tissue kosong itu. Aku menemukan tempat yang tepat. Aku menemukan
bungkus tissue itu dalam sebuah laci meja yang pernah kududuki. Ternyata tissue
itu adalah sisa tissue yang pernah kugunakan.
Bukti pertama kudapatkan. Aku
baru saja berbalik untuk meletakkan bungkus tissue itu ke dalam tasku, tapi
terlihat siluet orang dari balik pintu labor dari koridor. Aku langsung tiarap
untuk bersembunyi dibalik kaki-kaki kursi dan meja.
Profesor masuk, diiikuti seorang
murid laki-laki di belakangnya. Itu jelas bukan murid kelasku. Mereka terlihat
berbisik-bisik dan profesor mengeluarkan sehelai kertas. Si murid meletakkan
tasnya dan mengeluarkan sebuah pena. Apa ini? Mereka mau menulis surat lagi?
Terlihat olehku sang profesor
menunduk. Aku langsung bersembunyi. Dari celah kursi, bisa kulihat dia
mengawasi. Apa aku ketahuan? Ini gawat! Profesor berjalan ke arahku, aku masuk
ke bawah meja secepatnya. Kulihat dari bayangannya di dekat meja menjauh
setelah terdengar suara gesekan di atas mejaku. Ah, dia membawa tasku!
Aku keluar dari bawah meja.
Kulihat murid itu duduk di meja sebelah tempatku bersembunyi. Ia menyadari
keberadaanku. Aku meletakkan jari telunjukku di depan mulut sambil menunjuk
tasku. Sepertinya dia mengerti dan membiarkanku dengan anggapan aku menunggu
tasku dikembalikan.
Sesaat mataku mencoba melihat apa
yang dilakukan si kurir. Dia terlihat serius dengan apa yang dikerjakannya.
Tapi di sebelahnya terdapat koran, dia menggunting beberapa menjadi kecil. Aku
suka novel detektif, dan aku teringat apa yang dikerjakan orang itu dalam
novel. Sepertinya murid ini melakukan hal yang sama.
Aku memandang profesor. Dia
membongkar isi tasku. Melihat isi bukuku hingga akhirnya menemukan sebuah
bacaan yang menarik baginya. Aku menyadarinya sebagai buku catatan olahragaku.
Sebuah catatan dimana terdapat ungkapan kata-kata tulus yang ingin kusampaikan
pada seseorang yang kini aku yakin, bahwa aku mencintainya.
Aku ingat saat aku menulis surat
abal-abal yang kini kusadari sangat menyebalkan itu. Kalau aku tak menulis
surat itu pada catatanku, profesor tidak akan pernah tau bahwa aku suka kakak.
“Heh, gadis itu benar-benar
mencintainya” kata profesor itu sambil tertawa.
“Gadis siapa?” tanya murid
laki-laki itu.
“Pemilik tas ini”
“Begitu?” Murid laki-laki itu
melirik padaku mendengarnya. Sepertinya dia seseorang yang mengenalku, atau
berusaha mengejekku. Dia seperti bergumam pada dirinya sendiri, tapi aku yakin
dia bertanya padaku. “Siapa orang itu?’ tanyanya.
Aku hanya bisa marah sambil
mengepalkan tanganku padanya. Dia cekikikan dan aku beruntung profesor tidak
mengetahuinya. Tapi tiba-tiba ia berseru. “Hey! Baca ini! Profesor Moriarty itu
mati! Dia tiada dan Holmes hidup!” Dia mengangkat koran yang penuh lubang itu
hingga aku dapat meliahtnya. Dia menatapku senang. Ah, bodoh. “Aku sudah
selesai membaca serial detektif itu sejak umurku 10 tahun” gumamku pelan
seperti bisikkan.
“Kau bicara dengan siapa, Ed?”
terdengar suara profesor yang berat itu sangat dekat. Dia telah berdiri di
depan meja murid yang dipanggilnya ‘Ed’ itu. Sesaat aku terbawa suasana saat
berbicara dengan murid bernama ‘Ed’ itu sehingga tidak menyadari keberadaan
profesor yang kini telah menatapku tajam.
“Hi, Miss Park. Apa yang kau
lakukan di bawah sana? Memata-mataiku untuk gurumu itu, kurasa?” tanya profesor
padaku tenang. Aku yang sedari tadi berdiri dengan lutut dan telapak tanganku
bangkit dan berdiri dengan kedua kakiku.
“Kau memfitnahnya profesor. Kau
membuat murid ini . . “
“Namaku Edward” potong murid itu.
Aku melengos dan membenarkan kalimatku.
“Kau membuat Edward menjadi si
kurir yang menulis surat itu pada Mr. Kim”
“Kau hanya membela orang
sebangsamu Miss Kim. Lagipula untuk apa kusuru Edward menulis surat itu padahal
sekarang ia sedang menggunting koran?” tanya profesor itu dengan senyuman, tapi
jelas saja itu membuatku merinding.
“Sudah selesai, Ed?” tanya
profesor itu pada murid bernama Edward itu. Dan Edward mengangguk. “Kunci pintu
belakang segera” perintahnya dan Edward berlari menuju pintu tempatku masuk
tadi. Edward menguncinya.
“Kau kalah Miss Kim. Kau sangat
bodoh memasuki sarangku dan kau akan terjebak di dalamnya” kata profesor
mendekati pintu diikuti Edward dan potongan kertasnya.
“Tunggu! Profesor!” teriakku
memanggil namanya sebelum dia mengunciku. Aku berlari ke arah pintu itu dan
menggedor-gedornya hingga profesor menghilang dari pandangan. Aku terduduk di
depan pintu. Tak kuasa, aku lepas tawaku.
“Hahaha, kunci saja! Aku punya
kartu As!” kataku mengeluarkan segerombolan kunci yang kusimpan dalam saku
bersama bungkus tissue tadi. Aku berlari menuju pintu belakang, aku masuk dari
sana, aku juga harus keluar dari sana. Baru saja aku membuka kunci pintu
belakang, aku teringat sisa koran yang berlubang tadi sehingga aku kembali dan
mengambilnya.
Aku kembali dengan tasku. Sebelum
keluar, aku memeriksa keadaan lewat lubang kunci. Mungkin ada yang mendengar,
curiga, atau apa dibalik sana. Tapi sepertinya keadaan kelas masih seperti
terakhir kutinggalkan.
TRAKK!!
Sepasang tangan menahanku di
pintu. Aku berbalik dan melihat sepasang mata kelabu milik petugas sekolah
ganteng yang juga pemilik gerombolang kunci ini.
“Kau mencuri kunciku?” tanyanya
dingin.
“Bukan, aku terkurung dan
menemukan kunci ini sehingga . .” Aku berusaha berbohong tapi ia malah
tersenyum.
“Kau gadis pemberani. Aku ada di
gudang lab Kimia sejak tadi dan mendengar semuanya” kata petugas itu mengaku.
Eh, bukan mengaku. Menjelaskan, ah, aku bingung! Posisi ini membuatku gugup!
Tambah lagi matanya yang tak mau melepaskanku!
“Terima kasih. Tapi aku harus
kembali ke kelasku sekarang” kataku berusaha bangkit. Tapi petugas itu menarik
bahuku dan membuatku menyandar pada pintu dengan kasar. Aku baru menyadari
petugas ini masih muda dan kuat. “Apa ini?” tanyaku takut.
“Siapa namamu? Atau kau mau
kukadukan pada professor McGinty?”
“Kau kan mendengarnya. Yang jahat
dia, bukan aku. Aku tak bersalah!” balasku marah.
“Namamu? Siapa namamu?”
Pada saat aku baru aku membalas
pertanyaannya, tiba-tiba pintu dibuka. Sehingga aku yang bersandar terdorong ke
belakang dan petugas itu terdorong ke depan karena tangannya yang menopang
tubuhnya bertahan pada pintu. Membuat kami pada posisi yang . .
“Apa yang kalian lakukan?” Mati
aku. Itu suara kakak! Aku mendorong petugas itu hingga terdorong ke belakang
dan aku terduduk.
“Kakak!” seruku sambil berdiri
dan langsung membungkuk meminta maaf padanya.
Petugas itu ikut berdiri dan sedikit
membungkuk. “Kenapa dia memanggilmu ‘kakak’? Apa itu ‘kakak’?” tanya petugas
itu. Kenapa sejak tadi dia terus-terusan ikut campur sih?
Bukannya menjawab pertanyaan
petugas itu, kakak menatap mataku tajam. “Kau sudah menyelesaikan tugasmu? Apa
kau menemukan bukumu yang tertinggal?” tanya kakak. “Tapi sepertinya kau
berbohong soal buku itu”
“Maafkan aku” kataku.
Semua orang menatap ke arah kami
penasaran. Tidak akan ada yang mengerti percakapan diantara kami. Saat
berbicara berdua, aku dan kakak biasa menggunakan bahasa Korea. Dan itu membuat
percakapan kami lebih privasi.
“Sudahlah. Lanjutkan saja
tugasmu. Dan anda, silahkan keluar dari kelasku!”